Rabu, 18 Maret 2009

DZIKIR DENGAN SUARA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM.

Segala puji bagiAllah Swt, Shalawat dan Salam semoga tercurah atas se-baik-baik makhlukNya, Sayidina Muhammad, dan keluarganya, serta sahabatnya, juga para pengikutnya hingga hari kemudian.

Ketahuilah sesungguhnya mengeraskan suara dalam dzikir itu ada memiliki dasar dan dalil yang cukup banyak, sehingga dapat mengandung hukun dianjurkan atau disunnahkan.

Para Ulama telah menyusun kitab-kitab yang menjelaskan tentang hal tersbut, seperti Syeik al-Muhaddis Abdul Hay al-Laknowy, dimana beliau menukil hingga lima puluh riwayat hadis sekitar itu.

Seperti pula Syeikh al-Allamah al-Imam Jalaluddin as-Suyuti, Beliau dalam kitabnya yang berjudul ( NATIJAT AL-FIKR FI AL-JAHR BIZZIKR ) –Hasil penelitian sekitar suara keras dalam dzikir. Beliau mencatat 25 hadis .

Baiklah kita diskusikan disini beberapa hadis sahih, yang menjelaskan masalah ini secara tuntas, sehingga dapat meyakinkan para pencari kebenaran dan pencinta Sunnah dan sekaligus mengoreksi pendapat-pendapat yang tidak didasari pada ilmu yang seharusnya.

صحيح البخارى - (ج 24 / ص 246)

- حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى ، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى ، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً » . طرفه 7505 ، 7537 - تحفة 12373 - 148/9

Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda ; Allah berfirman :” Aku akan seperti yang diyakini oleh hambaKu. Dan Aku akan selalu bersamanya bila ia menyebutKu, bila ia menyebutKu dalam dirinya, Aku sebut dia dalam diriKu, bila ia menyebutKu dihadapan halayak ramai, maka Aku akan menybut dia dihapan halayak yang lebih baik,…. ( H.R Bukhari, Muslim. )

Perhatikan bagaiman Allah Sawt, membalas dzikir dihadapan halayak ramai yang lebih baik, dan menjelaskan keutamaannya, dapat dipahami disini, bahwa dzikir ini dilakukan dengan suara yang didengar oleh halayak ramai, karma bagaimana mungkin dzikir yang dilakukan dengan suara rendah atau tidak disuarakan dapat disebut dzikir ditengah halayak ramai, dan lalu apa pentingnya disebut halayak ramai disini bila dzikir itu dilakukan dengan suara rendah atau tidak disuarakan sama sekali. Maha suci Allah yang tidak akan pernah berfirman sia-sia.

صحيح البخارى - (ج 3 / ص 421)

- حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِى عَمْرٌو أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ . طرفه 842 - تحفة 6513

Dari Ibnu Abbas, r.a ia berkata:” Ketahuilah sesungguhnya mengeraskan suara dalam dzikir setelah selesai Shalat wajib, biasa dilakukan pada masa Rasulullah Saw. Dan aku tahu bila mereka telah selesai Shalat wajib ketika aku mendengar dzikir mereka. ( H.R Bukhari, Muslim. )

Demikianlah yang dikerjakan para Sahabat, r.a, dan Nabi Muhamad Saw ada di-tengah-tengah mereka, melihat dan mendengar. Apakah ada lagi selain mereka yang perlu diikuti ? apakah mengikuti para shahabat itu dikatagorikan bid’ah yang munkar, apakah mungkin Rasulullah Saw menyetujui kemunkaran atau sesatu yang bertentangan dengan al-Qur’an sedetik saja, atau sehari saja ?

Dapat difahami dari hadis sahih ini, bahwa Rasullah Saw dan para shabatnya, selalu membaca dzikir bersama dengan bersuara, sehingga didengar oleh orang yang berada diluar masjid, ketika setiap kali selesai melaksanakan shalat fardhu.

Bila sekarang ada ummat Nabi Muhammad Saw, setelah shalat fardhu berjama’ah, lalu berdzikir bersama, dengan bersuara, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para Shabatnya ketika itu, maka tidak lebih kecuali mereka ingin menghidupkan dan meneladani sunnah Nabi Muhammad Saw. Justru kemudian bila ada yang beranggapan bahwa dzikir bersama dengan bersuara setelah Shalat Fardhu adalah sesuatu yang dilarang oleh agama, kita jadi bertanya agama yang mana yang melarang ? wong Rasulullah Saw Kanjeng Nabi yang wajib kita teladani melakukan dzikir bersama shahabatnya yang mulia, setiap kali selesai shalat berjama’ah.

Jadi bila tidak mau mengikuti dzikir seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para Shabatnya, ya… terserah, itu adalah pilihannya, tapi alangkah berbahayanya bila yang dilakukan oleh Nabi Saw dan para Shabatnya itu, diharamkan, dilarang, disebut bid’ah dan dicap sesat. Naudzubillah min dzalik.

Semoga Allah selalu menuntun kita kejalan yang diajarkan RasulNYA, amin.

صحيح مسلم - (ج 4 / ص 146)

- حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ أَخْبَرَنِى الْحَجَّاجُ بْنُ أَبِى عُثْمَانَ عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ الْقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَكَذَا ». قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ ». قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ ذَلِكَ.

Dari Ibnu Umar, r.a berkata,: Ketika kami Shalat bersama Nabi Saw, tiba-tiba seorang membaca : Allahu Akbar kabira walhamdulillahi katsira wa subhanallahi bukratan wa ashila, seketika Rasulullah bertanya, siapa yang membaca bacaan tadi ? maka berkatalah orang itu : Aku wahai Rasulullah. Lantas Rasulullah bertakata : Aku kagum pada baca’an itu, telah dibukakan baginya pintu-pintu langit . lalu Ibnu Umar berkata : sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkan membaca apa yang kudengar itu.

صحيح مسلم - (ج 4 / ص 145)

- وَحَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا قَتَادَةُ وَثَابِتٌ وَحُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً جَاءَ فَدَخَلَ الصَّفَّ وَقَدْ حَفَزَهُ النَّفَسُ فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ. فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلاَتَهُ قَالَ « أَيُّكُمُ الْمُتَكَلِّمُ بِالْكَلِمَاتِ ». فَأَرَمَّ الْقَوْمُ فَقَالَ « أَيُّكُمُ الْمُتَكَلِّمُ بِهَا فَإِنَّهُ لَمْ يَقُلْ بَأْسًا ». فَقَالَ رَجُلٌ جِئْتُ وَقَدْ حَفَزَنِى النَّفَسُ فَقُلْتُهَا. فَقَالَ « لَقَدْ رَأَيْتُ اثْنَىْ عَشَرَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَرْفَعُهَا ».

Dari Anas, r.a.; Seseorang datang dam masuk tergesa-gesa kedalam Shaf shalat, lalu ia membaca : Alhamdulillah katsiran thayiban mubarakan fihi”. Setelah selesaai Shalat Rasulullah bertanya : siapa yang membaca bacaan tadi ? semua Jama’ah terdiam, tidak ada yang berani menjawab, lalu Rasulullah berkata: seseungguhnya orang itu tidak membaca yang keliru, seketika berulah ia berkata : Aku datang tergesa-gesa, untuk shalat, kemudian aku membacanya, Rasulullah lalu bersabda; Aku melihat dua belas Malaikat berebutan untuk mengangkat bacaan itu.

صحيح البخارى - (ج 3 / ص 350)

- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نُعَيْمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُجْمِرِ عَنْ عَلِىِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلاَّدٍ الزُّرَقِىِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِىِّ قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّى وَرَاءَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ » . قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ « مَنِ الْمُتَكَلِّمُ » . قَالَ أَنَا . قَالَ « رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ » . تحفة 3605

Telah berkata Rifa’ah bin Rafi’ : Suatu hari kami sedang Shalat dibelakang Nabi Saw, ketika beliau I’tidal mengangkat kepala dari ruku’ beliau mengucap : Sami’allahu liman hamidah, seseorang dibelakang Nabi Saw lalu membaca : Rabbana walakalhamdu , hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, setelah shalat Rasul Saw bertanya: Siapa yang membaca tadi ?, seseorang menjawab aku yang membaca, bersabda Rasul Saw: Aku melihat tiga puluh lebih malaikat berebutan untuk menjadi yang pertama menulis baca.an itu.

Al-Hafidz Ibnu hajar menulis dalam kitab Syarah al-Bukhari , hadis ini adalah dalil dibolehkannya berdzkir dengan dzikir yang bukan ma’tsurat dan dibolehkannya mengeraskan suara dalam dzikir”.

Sebetulnya lebih dari itu bahwa hadis ini juga merupakan dorongan dan anjuran dari Nabi Saw, bukankah anda saksikan beliau tidak menghardik seorangpun dan tidak melarang yang membuat baca’an baru dan mengeraskan bacaannya, bahkan justru sebaliknya.

Karnanya sangat perlu mempelajari dan memahami sunnah Rasul Saw bagi mereka yang mengingkarinya.

Senin, 16 Maret 2009

SYSTEM NILAI

Ketika seorang ibu membelai bayinya yang masih dalam susuan, ia berkata:" Wahai anakku lekaslah besar, ibu berharap kelak kau menjadi dokter, jadi insinyur, jadi mentri, jadi profesor, jadi tentara, jadi... dan jadi...dstnya.
Ketika anak itu sudah balita, dan ditanya, kau akan jadi apa nak, dia menjawab terbata-bata, aku ingin jadi orang kaya ma..jadi dokter pa.. dstnya.
Ketika anak itu beranjak remaja, dan ditanya apa cita-citamu, ia menjawab saya ingin jadi aktor terkenal, jadi penyanyi kesohor, dstnya.
Ketika ia sudah mulai dewasa dan duduk dibangku kuliah, maka ia punya obsesi ingin jadi pengacara yang sukses, jadi dokter gigi yang berhasil, jadi anggota legislatif, jadi ini.... jadi itu.... dstnya.
Ketika usia sudah menua, ia punya keinginan agar hidup dihari tua, setelah pensiun bisa tenang sambil ngurus kebun, momong cucu...dstnya.
Perjalan hidup manusia seperti tergambar dalam episod diatas, tidak lebih hanya sebatas pemenuhan kebutuhan hidup secara phisik, materialis semata. hampir tidak ada ruang untuk pemenuhan kebutuhan yang lebih penting sejatinya yaitu kebutuhan psykis, rohani.
System nilai duniawi semata, yang menjadi pegangan hidup. sementara system nilai yang sebenarnya adalah kebahagian abadi setelah kehidupan didunia ini.
sebagian kita lupa atau tidak menjadikan system nilai ukhrawi sebagai panduan dan pegangan hidup. faktanya semua harapan dan keinginan dan cita-cita yang didasari dengan system nilai duniawi tidak mampu membuat manusia bahagia. karna kebahagian hakiki, sejatinya ada pada system nilai ukhrawi, dimana manusia akan merasakan nikmat hidup diatas duniai ini, dan akan mendapatkan kebahagiaan yang tak terhingga di akhirat kelak.

Sabtu, 21 Februari 2009

PESAN SINGKATMU SELALU KUTERIMA

Saat kududuk diatas sajadahku dimalam yang begitu sepi, ditemani desahan nafas mengiringi perlahan terucap AsmaMU, semakin melarut malam kelam menyelimuti sekitarku, aku merasa dekat sekali denganmu, serasa Kau membelai penuh dengan Rahim dan RahmanMU, aku terlena menikmati kasihmu, tak terasa air mata sejuk bahagia menitik perlahan membasahai pipiku.
Ya Rahim, Ya Rahman, dapatkah aku yang bergantung pada belai kasihmu, menemuMU, setiap saat, agar dapat ku bercerita padaMU, tentang aku, keluh kesah dan bahagiaku, nikmat yang terus tak pernah putus dariMU, semunya itu kau pasti tahu, bahkan sebelum kejadianku, namun bersamaMU, aku bahagia berkata ungkap segala isi hati dan harapan, dan setiap kali harapan itu selalu saja KAU penuhi untukku.
Ya Rahman aku ingin selalu bersamaMU, kapan dan dimanapun, setiap saat aku selalu menerima pesan singkatMU, bahwa semakin hari semakin dekat perjumpaanku denganMU, aku bahagia menunggu hari itu, ya Rahman tetaplah kasihi aku, ya Rahim selalulah sayangi aku.
suara azan subuh menggema, kau panggil aku menemuiMU bersama hamba-hambaMU, aku datang kuatkan aku agar aku selalu datang memenuhi panggilanMU.

Kamis, 19 Februari 2009

MENGAPA MESTI
CINTA DENGAN
RASULULLAH...


Oleh: Muhammad Riyadi. M.HN

Suatu ketika, seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah s.a.w. seraya menanyakan tentang hari kiamat. Rasulullah bertanya: “Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari itu?” Orang Badui itu berkata: “Ya Rasulullah, aku tidak memiliki apa-apa, tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Mendengar itu, Rasulullah s.a.w. menjawab, “Anta ma‘a man ahbabta. Engkau bersama orang yang kaucintai.” (HR Bukhari)

Memang benar, kita selalu bersama dengan apa yang kita cintai. Rasa cinta amat berpengaruh besar terhadap perilaku kita. Kalau seseorang mencintai sesuatu, maka seluruh perilaku orang tersebut akan dipengaruhi oleh sesuatu itu. Jika seseorang mencintai Michael Jackson, maka ia akan mencintai apa saja yang berkaitan dengan artis itu. Ia akan menempelkan gambar-gambar Michael Jackson di kamarnya, dan ia akan membeli semua majalah atau tabloid yang memuat berita tentang Michael Jackson.

Kalau artis yang dicintainya itu tampil di panggung atau tayang di TV, ia akan khusyuk menyaksikannya dan seluruh emosinya akan terbawa di dalamnya. Orang itu akan sanggup begadang semalaman atau bangun di tengah malam hanya karena ia tahu bahwa malam itu akan ada pertunjukan Michael Jackson. Karena ia mencintai Michael Jackson, maka seluruh perilakunya dipengaruhi oleh sepak terjang artis itu; bahkan boleh jadi jiwanya akan beserta jiwa Michael Jackson.

***

Alkisah, suatu hari salah seorang sahabat Nabi Isa a.s. melakukan perjalanan dakwah di sebuah kota kecil. Penduduk kota itu berkumpul di hadapannya. Mereka meminta sahabat Nabi Isa a.s. untuk memperlihatkan mukjizatnya, yaitu menghidupkan orang mati, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Isa a.s. Demi membuktikan kebenarannya, sahabat Nabi Isa a.s. menuruti permintaan orang-orang itu. Maka pergilah mereka berbondong-bondong ke pemakaman dan berhenti di sebuah kuburan. Sahabat Nabi Isa itu pun lalu berdoa kepada Allah agar mayat yang berada di dalam kuburan tersebut dapat hidup kembali.

Tidak lama kemudian, atas izin Allah, mayat itu bangkit dari kuburnya, melihat ke sekeliling, lalu berteriak-teriak, “Keledaiku! Keledaiku! Mana keledaiku!?” Informasi dari mereka yang mengenalnya menyatakan bahwa semasa hidupnya orang itu sangat miskin dan harta satu-satunya yang paling ia cintai adalah keledainya.

Sahabat Nabi Isa a.s. lalu berkata kepada orang-orang yang menyertainya, ”Wahai saudaraku sekalian! Ketahuilah, bahwasanya kalian pun kelak seperti itu. Pada hari kiamat, kalian akan terbangun dan mencari-cari apa yang selama ini kalian cintai di dunia. Apa yang kalian cintai di dunia ini akan menentukan apa yang akan terjadi dengan kalian pada saat kalian dibangkitkan.”

***

Ketika umat Islam diperintahkan agar mencintai Nabi Muhammad s.a.w., maka itu sama sekali bukan karena Nabi Muhammad membutuhkan cinta umatnya — cinta siapa lagi yang dibutuhkan padahal beliau sudah menjadi Kekasih Allah? Rasulullah s.a.w. menganjurkan kita untuk mencintai beliau, karena bila kita mencintai Rasulullah dengan tulus maka perilaku kita akan sesuai dengan perilaku beliau. Cinta kepada Rasulullah s.a.w. memiliki implikasi yang sangat luas, baik secara teologis, psikologis, sosiologis, maupun secara eskatologis. Dari segi teologis, cinta kepada Rasulullah s.a.w. adalah sebuah prinsip agama; keislaman seseorang juga ditegaskan dengan prinsip kecintaan ini.

Dari segi psikologis, cinta kepada Rasulullah s.a.w. akan berimplikasi pada munculnya semangat untuk mengikuti sunnah dan meneladani akhlak beliau. Dari segi sosiologis, kecintaan kepada Rasulullah s.a.w. menjadi simbol kebersamaan dan kesatuan umat Islam. Sedangkan dari segi eskatologis, cinta kepada Rasulullah s.a.w. akan membawa keberuntungan di akhirat kelak.
Kita sering mendengar khatib atau penceramah berkata bahwa “sebagai umat Islam kita harus mengikuti Sunnah Rasulullah.” Anjuran itu memang benar. Tetapi mengikuti Sunnah Nabi tidak cukup dan tidak bisa diajarkan hanya lewat khutbah. Meneladani Sunnah Rasulullah harus diajarkan lewat pembinaan cinta kepada beliau. Jika kita mencintai beliau, maka secara otomatis kita akan meniru segenap tingkah laku beliau. Karena cinta, kita akan mampu meniru perilaku Rasulullah s.a.w. Kita hanya akan berperilaku seperti Rasulullah bila kita mencintainya.

Cinta itu dapat dibina. Cinta bisa ditanamkan. Salah satu cara menanamkan kecintaan kita kepada Rasulullah s.a.w. ialah dengan berusaha mengenal beliau. Permulaan cinta adalah kenal. Tak kenal maka tak sayang. Kita cenderung mencintai hal-hal yang kita kenal dengan baik. Jika Anda mengenal seekor kucing yang sering datang ke rumah Anda setiap pagi, dan suatu saat kucing itu mati, maka Anda pasti akan merasa sedih.

Kecintaan tumbuh karena kita mengenal. Untuk mengenal Rasulullah s.a.w. kita harus memulai dengan membaca riwayat hidupnya, akhlak, dan perjuangannya. Sejarah Rasulullah s.a.w. pasti menyimpan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga, meskipun kita tidak harus mengukur kebesaran Rasulullah s.a.w. hanya lewat sejarah beliau semata-mata. Data sejarah hanyalah sebuah deskripsi lahiriah, sedangkan keagungan Rasulullah justru ada pada maqam (kedudukan) Ilahiyah-nya yang sangat tinggi di hadapan Allah SWT. Bila kita tidak kenal Rasulullah, kita tidak akan menyenanginya. Karena itu, usaha orang munafik dan orang kafir untuk merobohkan tonggak Islam ialah dengan mengasingkan umat Islam dari Rasulullah, atau memperkenalkan Rasulullah s.a.w. sebagai pribadi yang penuh dengan hal-hal negatif supaya cinta kita kepada beliau meluntur atau bahkan sirna sama sekali. Mereka berusaha dengan sistematis untuk mendiskreditkan Rasulullah s.a.w. Karena bila umat Islam sudah hilang kecintaannya kepada Rasulullah, maka runtuhlah seluruh tonggak agama ini.

Mencintai Rasulullah menjadi sebuah keharusan dalam iman. Ia menjadi prinsip, bukan pilihan. Dengan kata lain, mau atau tidak, kita wajib cinta kepada Rasulullah s.a.w. Seorang Muslim harus menyimpan rasa cinta kepada Nabi Muhammad, seberapa pun kecilnya. Idealnya ia mencintainya lebih dari segala sesuatu yang ia miliki, bahkan dirinya. An-nabiyyu aulâ bil-mu’minîna min anfusihim. Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin ketimbang diri mereka sendiri (QS 33: 6). Itulah hakikat iman yang paling sempurna. Itulah sebabnya kita bisa memahami mengapa kecintaan kepada Rasulullah s.a.w. menjadi salah satu asas ajaran Islam yang paling penting. Rasulullah sendiri pernah bersabda bahwa keimanan seorang Muslim harus diukur dengan barometer cintanya kepada beliau: “La yu’minu ahadukum hatta akûna ahabba ilaihi min nafsihi. Tidak beriman seseorang sehingga aku (Rasulullah s.a.w.) lebih ia cintai ketimbang dirinya sendiri.”

Tanpa kecintaan kepada Rasulullah, seluruh bangunan keagamaan kita akan runtuh. Bagaimana kita bisa meniru Rasulullah s.a.w. tanpa didasari rasa cinta kepada beliau? Mustahil bagi kita untuk berperilaku seperti perilaku Rasulullah kalau hati kita tidak terikat kukuh dengan rasa cinta kepada beliau?

Di dunia ini, Rasulullah berfungsi “membumikan” Allah dalam kehidupan manusia. Beliau ibaratnya sebagai zhahir-nya (pengejawantahan) Allah di muka bumi; beliau adalah syâfi‘ (yang memberikan syafa‘at, pertolongan dan rekomendasi) antara makhluk dengan Tuhannya. Kalau Anda ingin merasakan kehadiran Allah dalam diri Anda, maka hadirkanlah Rasulullah di hati Anda. Kalau Anda ingin disapa oleh Allah, maka sapalah Rasulullah s.a.w dengan membaca shalawat. Kalau Anda ingin dicintai Allah, maka cintailah Rasulullah s.a.w. Qul inkuntum tuhib-bûnallâh fat-tabi’ûnî yuhbibkumullâh. Katakanlah: “Kalau kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan cinta kepada kalian…” (QS 3: 31)

Bukankah setiap kali kita mencintai sesuatu maka kita akan mencari tahu segala hal yang berkaitan dengannya. Bahkan mungkin kita ingin menghadirkannya selalu dalam liku-liku hidup kita. Bila Anda mencintai kekasih Anda, misalnya, maka untuk cinta itu Anda akan melakukan banyak hal seperti menyimpan fotonya, pakaiannya, ataupun benda-benda yang berkaitan dengannya, bahkan mungkin ukiran namanya. Cinta memang laksana air mengalir yang memindahkan seluruh atribut sang kekasih kepada kita yang mencintainya. Maka jadikanlah Rasulullah s.a.w. sebagai kekasih sejati Anda.